Edisi 63, oleh Imam Sutikno (Pengawas Madrasah Kankemenag Kabupaten Purbalingga)
Sistem pendidikan modern sering kali didominasi oleh orientasi kognitif, mengukur keberhasilan melalui capaian akademis, nilai ujian, dan kuantitas informasi yang diserap. Dalam konteks yang serba terukur dan kompetitif ini, dimensi afektif, khususnya kehadiran cinta dan kasih sayang, cenderung terpinggirkan sebagai variabel yang “lunak” dan tidak esensial. Padahal, pembangunan manusia yang utuh (holistik) tidak pernah dapat dilepaskan dari perkembangan emosional dan sosial yang sehat.
Tulisan ini berargumen bahwa cinta dan kasih sayang diartikan sebagai sikap penerimaan, empati, dan kepedulian tulus dari pendidik terhadap peserta didik bukan sekadar elemen pelengkap, melainkan fondasi vital yang harus hadir dalam proses pembelajaran. Kehadiran fondasi ini menentukan keberhasilan pembentukan karakter, kesejahteraan psikologis, dan pada akhirnya, optimalisasi potensi kognitif peserta didik.
Landasan Psikologis Kehadiran Afeksi
- Kebutuhan Dasar dan Keamanan Emosional
Menurut Hierarki Kebutuhan Maslow, kebutuhan akan rasa aman (safety needs) dan kebutuhan untuk dimiliki dan mencintai (love and belonging needs) berada di tingkat yang lebih rendah dan harus dipenuhi sebelum seseorang dapat mencapai aktualisasi diri, termasuk kemampuan untuk belajar dan berprestasi secara maksimal.
Dalam konteks pembelajaran, kasih sayang yang tulus dari guru menciptakan keamanan emosional. Lingkungan yang aman secara emosional membebaskan peserta didik dari rasa takut dihakimi, ditolak, atau gagal. Kebebasan dari kecemasan (anxiety) ini sangat penting, karena kecemasan yang tinggi terbukti menghambat fungsi kognitif, terutama memori kerja dan pemecahan masalah. Sebaliknya, ketika peserta didik merasa dicintai dan diterima, mereka akan lebih berani mengambil risiko intelektual, mengajukan pertanyaan, dan terlibat aktif dalam diskusi.
- Pembentukan Jati Diri dan Motivasi Intrinsik
Pendekatan berbasis kasih sayang memungkinkan pendidik untuk melihat setiap peserta didik sebagai individu unik dengan tantangan dan kelebihan masing-masing. Sikap ini mendorong apa yang oleh Carl Rogers disebut sebagai Unconditional Positive Regard (Penghargaan Positif Tak Bersyarat). Ketika anak merasa dilihat dan dihargai apa adanya, motivasi belajar akan bergeser dari motivasi ekstrinsik (nilai, hadiah) menjadi motivasi intrinsik (minat, rasa ingin tahu).
Kasih sayang dari guru bertindak sebagai cermin positif yang membantu peserta didik membangun konsep diri yang sehat. Hubungan yang kuat dan positif antara guru dan murid juga menjadi prediktor kuat bagi tingginya keterlibatan di sekolah dan rendahnya tingkat perilaku menyimpang.
Implementasi dalam Praktik Pembelajaran
Kehadiran cinta dan kasih sayang dalam pembelajaran tidak menuntut kemewahan fasilitas, melainkan perubahan paradigma dalam interaksi sehari-hari.
- Guru sebagai Pemandu dan Model Empati
Guru memiliki peran krusial sebagai model empati. Implementasi kasih sayang dapat diwujudkan melalui:
- Mendengarkan Aktif: Memberikan perhatian penuh saat peserta didik berbicara tentang kesulitan, baik akademis maupun personal.
- Respon Konstruktif: Memberikan kritik atau koreksi terhadap hasil kerja, bukan terhadap karakter peserta didik. Frasa seperti, “Ide ini bagus, mari kita kembangkan lagi” jauh lebih suportif daripada, “Jawabanmu salah.”
- Pengaturan Kelas Inklusif: Menciptakan aturan kelas yang didasarkan pada rasa saling menghormati, bukan hanya kepatuhan, sehingga setiap peserta didik merasa menjadi bagian dari komunitas belajar.
- Kurikulum Tersembunyi (Hidden Curriculum)
Kasih sayang perlu diintegrasikan ke dalam Kurikulum Tersembunyi, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang ditransmisikan melalui struktur dan atmosfer sekolah. Ketika sekolah secara institusional menunjukkan kepedulian misalnya, dalam penanganan kasus bullying, pemberian bantuan, atau perayaan keberagaman pesan bahwa institusi beroperasi berdasarkan cinta dan kasih sayang akan tersampaikan dengan kuat. Hal ini mendidik peserta didik tentang pentingnya belas kasih dan tanggung jawab sosial, melampaui materi pelajaran di buku.
Kesimpulan
Pembelajaran yang berpusat pada cinta dan kasih sayang adalah investasi jangka panjang dalam kesehatan mental, sosial, dan akademik peserta didik. Cinta dan kasih sayang adalah katalisator yang mengubah instruksi mekanis menjadi inspirasi sejati, dan menjadikan sekolah sebagai tempat bertumbuh, bukan hanya tempat menerima pengetahuan.