Kementerian Agama Kabupaten Purbalingga

LEBIH DARI SEKADAR NILAI MENGUBAH CARA PANDANG ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN

Edisi 51, oleh Solikhun, S.Pd.I. (Guru MIM Pesayangan)

“Nilaimu berapa?” Pertanyaan ini hampir selalu muncul ketika anak pulang membawa rapor. Sebaliknya, jarang sekali terdengar orang tua yang bertanya, “Apa yang kamu pelajari hari ini?” atau “Keterampilan apa yang baru kamu kuasai?” Seakan-akan nilai angka menjadi satu-satunya tolok ukur keberhasilan pendidikan.

Fenomena ini mencerminkan paradigma pendidikan kita yang masih sangat berorientasi pada angka. Nilai kognitif seperti Matematika, Bahasa Indonesia, atau IPA sering dianggap sebagai standar mutlak kecerdasan anak. Padahal, pendidikan jauh lebih kompleks. Di balik angka-angka itu, terdapat laporan deskriptif dari guru yang menjelaskan perkembangan anak dalam sikap, keterampilan, serta karakter. Sayangnya, bagian penting ini sering terabaikan oleh banyak orang tua.

Pendidikan Tidak Cukup Diukur dengan Angka

Kenyataannya, sistem kita masih memberi porsi besar pada kognitif, sementara afektif dan psikomotorik sering dipandang sekadar pelengkap. Akibatnya, banyak anak yang mungkin gemilang dalam nilai rapor, tetapi kurang terampil, kurang percaya diri, atau bahkan lemah dalam kejujuran dan tanggung jawab. Apakah itu bisa disebut keberhasilan pendidikan?

Potensi Anak yang Beragam

Setiap anak terlahir dengan potensi unik. Ada yang unggul dalam akademik, ada yang berbakat seni, olahraga, teknologi, atau kepemimpinan. Namun ketika standar keberhasilan hanya diukur dengan nilai akademik, potensi lain sering kali terabaikan.

Di salah satu madrasah, misalnya, ada seorang siswa yang memiliki kesulitan dalam membaca. Ia mampu membaca,. Jika dilihat dari sudut pandang akademik semata, mungkin anak ini dianggap kurang menonjol dibandingkan teman-temannya. Namun Subhanallah, ia memiliki suara yang merdu sehingga sering dipercaya menjadi muadzin saat salat Zuhur. Kelebihan ini justru jarang dimiliki oleh siswa lain, termasuk mereka yang pintar secara akademik.

Kisah sederhana ini memberikan pelajaran penting: ketika seorang anak diberi kekurangan, Allah SWT pasti menganugerahkan kelebihan di sisi lain. Sayangnya, banyak orang tua yang tidak menyadari hal ini karena terlanjur terpaku pada rapor akademik.

Mengubah Cara Pandang

Sudah waktunya orang tua, dan juga masyarakat, mengubah cara pandang dalam menilai pendidikan anak. Rapor tidak boleh lagi dibaca hanya sebagai daftar angka, tetapi juga sebagai catatan perkembangan yang menyeluruh.

Beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan antara lain:

1. Membaca rapor secara menyeluruh. Perhatikan catatan guru tentang sikap, keterampilan, dan perkembangan anak, bukan hanya kolom nilai.

2. Mengapresiasi proses belajar. Anak yang dihargai usahanya akan lebih percaya diri dan berani mencoba.

3. Mendorong minat dan bakat. Beri ruang bagi anak untuk mengembangkan diri di luar akademik, seperti seni, olahraga, atau organisasi.

Mengubah paradigma ini memang tidak mudah, sebab pola pikir “nilai adalah segalanya” sudah mengakar kuat dalam masyarakat. Namun, jika perubahan dimulai dari keluarga. Pendidikan sejatinya adalah upaya memanusiakan manusia. Artinya, keberhasilan anak tidak semata ditentukan oleh seberapa tinggi angka di rapor, tetapi juga bagaimana ia menjadi pribadi yang jujur, bertanggung jawab, kreatif, serta mampu beradaptasi dengan tantangan zaman.

Jika orang tua mampu melihat kelebihan di balik setiap keterbatasan anak, maka pendidikan akan terasa lebih manusiawi. Kita tidak hanya melahirkan generasi pintar, tetapi juga generasi yang berkarakter, percaya diri, dan siap menghadapi masa depan. Itulah esensi pendidikan yang sebenarnya.

Post Relate

Translate »
Open chat
Hubungi Kami
Kemenag Purbalingga
Hallo 👋
Apakah ada yang bisa saya bantu?
Skip to content