Edisi 77, oleh Nur Kholis (Penyuluh Agama Islam KUA Mrebet)
Di banyak rumah hari ini, pemandangan yang sama kerap terulang: anak duduk tenang, mata fokus ke layar gawai, sementara orang tua merasa lega karena rumah menjadi “aman dan sunyi”. Sekilas tampak ideal. Namun, di balik ketenangan itu, relasi komunikasi perlahan menjauh. Anak hadir secara fisik, tetapi absen secara emosional. Fenomena inilah yang kemudian disebut sebagai “generasi zombi”—anak yang hidup di tengah banjir teknologi, tetapi miskin interaksi manusiawi.
Masalah utamanya bukan pada teknologi, melainkan pada pola komunikasi interpersonal yang melemah. Anak tidak kehilangan kemampuan berbicara, tetapi kehilangan ruang aman untuk berbicara.
Komunikasi Interpersonal: Pondasi Psikologis Anak
Dalam psikologi komunikasi, komunikasi interpersonal antara orang tua dan anak bukan sekadar bertukar kata. Ia adalah proses pembentukan makna, emosi, dan identitas diri. Anak belajar mengenali perasaan, empati, serta nilai diri dari cara orang tua mendengarkan, menanggapi, dan merespons ceritanya.
Ketika orang tua terbiasa memotong cerita anak, menghakimi, atau membandingkan, anak akan menarik kesimpulan sederhana: “berbicara tidak selalu aman”. Pada titik inilah gawai menjadi “teman ideal”—tidak menyela, tidak mengoreksi, dan selalu tersedia.
High Tech Tidak Salah, Masalahnya Ketika High Touch Hilang
Teori High Tech–High Touch menegaskan bahwa kemajuan teknologi seharusnya berjalan beriringan dengan sentuhan kemanusiaan. High tech merujuk pada kecanggihan alat dan sistem, sementara high touch adalah sentuhan emosional: empati, kehadiran, dan hubungan bermakna.
Masalah muncul ketika rumah hanya dipenuhi high tech tanpa high touch. Gawai hadir di tangan anak, tetapi kehadiran emosional orang tua justru menipis. Padahal, teknologi sejatinya dapat menjadi pintu masuk percakapan, bukan penghalang. Pertanyaan sederhana seperti, “Kamu nonton apa hari ini?” jauh lebih bermakna daripada perintah, “Matikan HP-mu!”
Dengan pendekatan ini, teknologi tetap digunakan, tetapi hubungan emosional tetap dijaga. Inilah esensi high tech yang dibingkai dengan high touch.
Orang Tua sebagai Komunikator Utama
Dalam psikologi komunikasi, orang tua adalah significant communicator—figur komunikasi paling berpengaruh dalam kehidupan anak. Bukan sekolah, bukan media sosial, apalagi algoritma digital. Cara orang tua mendengarkan akan menentukan apakah anak merasa layak untuk didengar atau memilih diam.
Kesibukan dan tekanan hidup sering membuat komunikasi di rumah berubah menjadi transaksional: menyuruh, melarang, dan menegur. Padahal, anak membutuhkan komunikasi relasional—yang mendekatkan, bukan menjauhkan. Ketika rumah kehilangan dialog, anak akan mencarinya di luar, termasuk di dunia digital yang tidak selalu ramah bagi perkembangan psikologisnya .
Perspektif Al-Qur’an dan Hadis tentang Komunikasi dalam Keluarga
Islam menempatkan komunikasi keluarga sebagai fondasi pendidikan. Al-Qur’an mengabadikan dialog Luqman dengan anaknya sebagai contoh komunikasi penuh hikmah:
“Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)
Ayat ini menarik karena pesan tauhid disampaikan melalui dialog lembut, bukan paksaan. Ini menunjukkan bahwa komunikasi efektif dimulai dari kedekatan emosional. Rasulullah ﷺ juga mencontohkan komunikasi yang sarat high touch. Dalam sebuah hadis disebutkan:
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda.” (HR. Tirmidzi)
Kasih sayang ini tidak cukup diwujudkan dengan pemenuhan fasilitas, tetapi dengan kehadiran, perhatian, dan kesediaan mendengar. Inilah bentuk komunikasi interpersonal yang menumbuhkan rasa aman pada anak.
Menghidupkan Kembali Percakapan di Rumah
Menghadapi generasi zombi, solusi utamanya bukan sekadar membatasi layar, melainkan menghidupkan kembali percakapan. Orang tua perlu hadir bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional—hadir dengan empati, sabar mendengar, dan tidak tergesa menghakimi.
Dalam istilah psikologi komunikasi, ini disebut presence with empathy: kehadiran yang penuh kesadaran dan kepedulian. Anak yang tumbuh dalam suasana komunikasi seperti ini akan lebih siap menghadapi dunia digital tanpa kehilangan jati diri.
Penutup
Era digital tidak bisa dihindari, tetapi relasi manusiawi tidak boleh dikorbankan. High tech harus berjalan bersama high touch. Rumah yang kaya dialog akan melahirkan anak yang mampu berbicara, mendengar, dan memahami sesama.
Ketika orang tua kembali menjadi pendengar yang hangat, anak tidak lagi menjadi “zombi” di dunia nyata. Ia tumbuh sebagai manusia seutuhnya—cerdas secara teknologi, matang secara emosi, dan kuat secara spiritual.