Bagi umat Islam, haji adalah ibadah yang paling dirindukan. Di Indonesia, kerinduan itu tampak jelas dari antusiasme pendaftaran haji di Kementerian Agama. Hingga kini, daftar tunggunya bahkan sudah mencapai 32 tahun. Lamanya penantian itu membuat banyak orang memilih umroh sebagai pengobat rindu, sekadar bisa lebih cepat bertamu ke Baitullah.
Namun bagi mereka yang berangkat haji, perjalanan ini bukan sekadar ritual.
Haji adalah pengalaman spiritual penuh makna—sebuah perjalanan panjang yang menuntut kesabaran, keikhlasan, sekaligus keteguhan hati. Prosesi yang dilalui bukan hanya soal ibadah, tetapi juga sarat filosofi dan ujian hidup.
Karena itu persiapan fisik dan mental menjadi bekal utama agar ibadah ini benar-benar menghadirkan perubahan dalam diri.
Haji: Lebih dari Sekadar Ibadahku
Haji bukanlah akhir dari sebuah perjalanan, melainkan awal dari perubahan. Banyak jamaah yang sepulang dari tanah suci menjadi lebih sabar, lebih dermawan, menjaga kualitas shalat, hingga semakin ikhlas dalam setiap langkah kehidupan. Tak heran jika haji sering disebut sebagai “ibadah yang mampu mengubah pola pikir” karena dampaknya tak hanya terasa bagi diri sendiri, tetapi juga keluarga dan masyarakat.
Solidaritas sesama muslim dari berbagai belahan dunia juga menghadirkan ikatan kebersamaan yang luar biasa. Dari situlah muncul harapan, agar kemabruran haji bisa terjaga sepanjang hayat, bukan hanya sebatas momentum.

Dinamika Perjalanan Haji 2025
Tahun 2025 menjadi pengalaman yang berbeda. Perubahan sistem syarikah—dari 1 menjadi 8 syarikah—membawa banyak dinamika. Ada jamaah yang terpisah dari mahramnya, suami terpisah dari istri, orang tua terpisah dari anak. Ada pula yang harus pindah hotel atau berganti transportasi antar kota. Situasi ini tentu menimbulkan keresahan, baik bagi jamaah maupun para petugas kloter.
Namun di sinilah letak hikmahnya adalah ketua kloter, pembimbing ibadah, dokter, tenaga kesehatan, hingga pembimbing KBIHU bahu-membahu mencari solusi. Jamaah pun belajar menerima dengan sabar, ikhlas, dan saling menguatkan. Bahkan ketika sebagian jamaah tidak menerima kartu nusuk, solusi pun ditemukan dengan menggunakan aplikasi Tawakaln. Semua berjalan karena ada komunikasi, kekompakan, dan rasa kebersamaan.
Kondisi di Armuzna pun serupa. Penempatan berbasis syarikah membuat jamaah dari berbagai kafilah harus berbagi tenda, tempat tidur, dan konsumsi. Lagi-lagi, ujian ego dan kenyamanan muncul. Tetapi berkat kesabaran dan komunikasi, semua bisa diatasi.
Haji: Ujian Nyata Kesabaran dan Kebersamaanya
Dari perjalanan ini, satu pelajaran penting bisa dipetik: haji bukan hanya tentang menunaikan rukun Islam kelima, melainkan juga tentang menaklukkan ego, belajar sabar, dan menemukan solusi bersama. Di tanah suci, semua jamaah diuji—bukan hanya fisik dan mental, tetapi juga hati.
Sepulang dari sana, kita semua membawa pulang bukan hanya gelar “Haji”, tetapi juga pengalaman hidup yang mengajarkan arti sesungguhnya dari kebersamaan, keikhlasan, dan keteguhan iman.
Penutup: Jayalah Kementerian
Tahun 2025 menjadi catatan bersejarah. Tahun ini merupakan momen terakhir Kementerian Agama RI menyelenggarakan layanan haji, setelah 75 tahun setia melayani tamu-tamu Allah dengan segala dinamika dan tantangannya.
Dari Tanah Suci, kita belajar bahwa setiap tantangan bisa diselesaikan dengan sabar, ikhlas, dan kebersamaan. Semoga kemabruran haji kita terjaga sepanjang hayat, dan semoga pengabdian Kementerian Agama selalu mendapat keberkahan.
Jayalah Kementerianku. Istimewa Kemenagku.
Penulis: Hj. Ani Mufarokhakh (Kasi Penyelenggara Haji dan Umroh Kankemenag Kabupaten Purbalingga)