Kementerian Agama Kabupaten Purbalingga

Nakhoda Utama Sang Pemimpin, Hati

Edisi 65, oleh Syarif Hidayat, S.Ag. (Kepala MTs N 1 Purbalingga)

Menjaga eksistensi adalah fitrah setiap manusia, termasuk para pemimpin. Tak terkecuali pemimpin di madrasah (kepala). Upaya menjaga eksistensi tidak akan menambah value manakala eksistensinya / keberadaannya berada pada posisi sama dengan posisi sebelumnya. Oleh karena itu, perlu upaya ekstra agar eksistensi harus meningkat melalui growth mindset (pola pikir bertumbuh). Pola pikir itulah yang kan melahirkan gagasan dan gerakan baru. Termasuk moto/tagline FANTASTIK yang diusung MTs Negeti 1 Purbalingga.  

Terdapat sedikitnya 5 fondasi untuk melaksanakan itu. Sebagai spirit baru, tentu hal ini menuntut sang pemimpin harus berperan ekstra sampai dengan pada status Leading Actor. Di saat yang hampir bersamaan, ia juga harus mampu membawa seluruh individu yang ada di sana agar bisa memerankan status (leading aktor) yang sama, namun di segmen yang berbeda tentunya. Tagline FANTASTIK dengan megusung spirit Asyik belajar-berkarya-berprestasi, adalah sebuah bentukan sistem dari sebuah proses yang akan menampilkan atau memposisikan hati sebagai nakhoda utamanya.

Menjadi pemimpin terutama di madrasah,  (1) bukan hanya soal jabatan atau wewenang. tapi tentang ketulusan, empati, dan keteladanan. Ia harus mampu menyalakan semangat di dalamnya dan menjaganya agar tetap menyala.

Memimpin dengan hati berarti, (2) memahami bahwa di balik setiap program ada aspek manusia; dia memiliki perasaan; dan di balik setiap hasil terdapat sebuah proses panjang. Dalam pendidikan, segala sesuatunya berawal lingkaran hubungan guru, siswa, kepala, dan masyarakat. Dinamika dan sinergi adalah prioritas. Ia haraus paham bahwa madrasah bukan tombol mesin, melainkan ekosistem yang harus dijaga keseimbangannya.

Seorang yang memimpin dengan sepenuh hati (3) tidak hanya menuntut tetapi juga mendengarkan. Tidak cukup perintah, tetapi juga keteladanan. Dalam strateginya, tidak hanya bertanya “apa yang perlu dilakukan” tetapi juga “bagaimana para pelaku saat melakukannya.” Ia sadar bahwa kesuksesan sejati tidak diukur dari programnya, melainkan dari meningkatnya rasa tanggung jawab dan antusiasme bersama dalam komunitas madrasah.

Memimpin dengan sepenuh hati juga berarti, (4) keberanian untuk hadir dalam menghadapi kesulitan. Jika ada komponen yang lelah, maka dibantu, didukung. Jika ada yang gagal, dikuatkan. Ia ke lapangan, menyambut mereka, dan menyediakan ruang untuk berkembang, karena Ia tahu bahwa setiap orang di madrasah membawa potensi dan kisah unik yang patut dihargai.

Dibimbing oleh hati,  (5) bukan berarti lemah atau ragu dalam mengambil keputusan. Tapi, ia tegas, namun penuh empati; disiplin, manusiawi. Ia menjaga keseimbangan prinsip dan welas asih. Di tangannya, prinsip tidak dimaksudkan untuk mengintimidasi, tapi untuk membimbing dan mengembangkan.

Madrasah yang dipimpin dari hati akan lebih hidup. Guru mendidik (bertugas) merasa dihargai. Siswa belajar karena didasari atensi dan kebutuhan mereka. Semua elemen bergerak dengan kesadaran dan kesatuan, bukan sekedar rutinitas. Oleh karenya, hakikatnya, pendidikan adalah karya hati. Fasilitas lengkap, sistem canggih, dan program, bisa diselenggarakan. Namun tanpa kehadiran hati yang tulus, segalanya akan terasa hampa. Sebaliknya, dengan hati yang tulus, madrasah sekecil apa pun dapat menjadi sumber cahaya dan inspirasi. Ia menanamkan cinta di setiap langkah, ketulusan dalam setiap kebijakan, dan harapan dalam setiap keputusan. Karena pendidikan sejati tak hanya membentuk pikiran, tetapi juga memupuk jiwa dan kemanusiaan.

Post Relate

Translate »
Skip to content