Edisi 39, oleh Rizki Nurahyai, S.Pd.I. (Guru MI Muhammadiyah Pesayangan)
Pendidikan sejati tidak hanya bertujuan mencetak anak yang cerdas secara akademik, tetapi juga membantu mereka menemukan serta mengembangkan bakat yang dimiliki. Setiap anak lahir dengan keunikan dan potensi yang berbeda-beda. Ada yang unggul dalam sains, ada yang berbakat seni, ada yang memiliki jiwa kepemimpinan, bahkan ada pula yang menonjol di bidang keagamaan. Jika madrasah hanya menekankan capaian akademik, maka banyak potensi besar anak yang bisa saja terabaikan.
Karena itu, madrasah memiliki peran strategis untuk menjadi ruang yang menghargai bakat anak. Bukan hanya mendidik di kelas, tetapi juga menyediakan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan potensi mereka secara menyeluruh.

Guru sebagai Penggali Potensi
Peran pertama terletak pada guru. Guru bukan sekadar penyampai materi, melainkan juga pengamat sekaligus penggali potensi anak. Dengan interaksi sehari-hari, guru dapat melihat kecenderungan minat siswa. Anak yang senang bercerita mungkin punya bakat di bidang sastra atau public speaking. Anak yang teliti dan suka berhitung bisa diarahkan pada Matematika. Anak yang lincah dan energik patut diarahkan ke olahraga.
Namun, mengidentifikasi potensi anak tidak cukup dengan pengamatan sepihak. Dibutuhkan pula komunikasi yang intensif antara guru dan orang tua. Dari rumah, orang tua sering menemukan bakat anak yang tidak selalu muncul di sekolah. Dengan sinergi ini, potensi anak dapat dikenali lebih dini dan diarahkan dengan tepat.
Wadah Pengembangan: Ekstrakurikuler dan Dukungan Luar Sekolah
Setelah potensi ditemukan, madrasah perlu menyediakan wadah pengembangan. Kegiatan ekstrakurikuler menjadi sarana penting bagi siswa untuk melatih minatnya. Pramuka mengasah kemandirian dan kepemimpinan. Olahraga melatih disiplin dan kerja sama. Hadrah, tilawah, atau musik mengembangkan kepekaan seni sekaligus kecintaan pada budaya.
Di madrasah kami, ada dua kegiatan ekstrakurikuler yang cukup menonjol, yaitu tahfidz dan adzan. Kegiatan ini bukan hanya melatih kemampuan anak dalam membaca dan menghafal Al-Qur’an, tetapi juga menumbuhkan rasa percaya diri, keberanian tampil, serta kecintaan pada ibadah.
Memang, pengembangan bakat anak di tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI) belum selalu maksimal. Namun, dasar yang diberikan sejak dini terbukti sangat bermanfaat. Kami memiliki pengalaman nyata, seorang siswa yang semasa di MI bakatnya dalam adzan dan tahfidz mulai terlihat, meskipun saat itu masih sederhana. Ketika ia melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya, bakat tersebut diasah lebih serius hingga akhirnya berhasil meraih juara dalam lomba adzan maupun tahfidz.
Kisah ini menunjukkan bahwa meskipun awalnya sederhana, dukungan madrasah dapat menjadi pijakan awal yang kokoh. Dengan pondasi yang kuat di MI, anak tidak kesulitan mengembangkan bakatnya di jenjang pendidikan berikutnya.
Pentingnya Budaya Kompetisi
Mengasah bakat tidak cukup hanya dengan latihan rutin. Anak-anak juga perlu diberi ruang untuk berkompetisi. Kompetisi bukan sekadar lomba untuk mencari juara, tetapi sarana belajar tentang mental, keberanian, sportivitas, dan menghargai proses.
Banyak siswa yang awalnya ragu tampil di depan umum, tetapi setelah mencoba lomba pidato, adzan, atau MTQ, mereka menjadi lebih percaya diri. Demikian pula siswa yang mengikuti pertandingan olahraga, mereka belajar kerja sama tim, mengelola emosi, dan menerima kekalahan dengan lapang dada.
Pengalaman berkompetisi sejak dini sangat berharga. Siswa yang sudah berani tampil di tingkat madrasah dasar akan lebih siap menghadapi tantangan di jenjang lebih tinggi. Keberanian itu akan terus terbawa, sehingga anak tidak mudah minder atau takut mencoba hal-hal baru.
Dengan kata lain, keberanian untuk tampil dan bersaing sejak di MI merupakan modal besar yang akan menemani anak hingga dewasa.
Menuju Madrasah yang Holistik
Mewujudkan madrasah yang menghargai bakat anak bukanlah pekerjaan mudah. Dibutuhkan komitmen dari semua pihak: guru, orang tua, bahkan masyarakat. Namun langkah nyata bisa dimulai dari hal sederhana:
1. Menggali potensi siswa secara sistematis, baik lewat observasi guru maupun komunikasi dengan orang tua.
2. Memberikan fasilitas pengembangan melalui ekstrakurikuler yang beragam, seperti tahfidz dan adzan.
3. Menghubungkan anak dengan pelatihan di luar madrasah jika bakatnya belum bisa difasilitasi di sekolah.
4. Menciptakan budaya kompetisi yang sehat, bukan untuk menakut-nakuti anak, tetapi untuk mengasah mental dan keberanian.
5. Mengapresiasi setiap pencapaian anak, sekecil apa pun itu, agar mereka merasa dihargai.
Dengan pendekatan seperti ini, madrasah akan benar-benar menjadi tempat yang menumbuhkan anak secara utuh: cerdas secara akademik, matang dalam sikap, terampil dalam bidang yang ditekuni, dan percaya diri menghadapi tantangan masa depan.
Madrasah tidak boleh berhenti hanya sebagai lembaga pengajaran. Lebih dari itu, madrasah harus menjadi lembaga pengembangan diri. Dengan menghargai bakat dan memberi ruang kompetisi sejak dini, madrasah dapat melahirkan generasi yang bukan hanya cerdas, tetapi juga berkarakter kuat, berani, dan siap berkontribusi bagi masyarakat.
Kisah siswa yang berawal dari latihan sederhana adzan dan tahfidz di MI hingga akhirnya berprestasi di jenjang lebih tinggi adalah bukti nyata. Dari madrasah kecil, lahir pijakan besar untuk masa depan. Itulah esensi pendidikan yang sejati: bukan hanya soal nilai, tetapi tentang bagaimana anak menemukan jati dirinya dan tumbuh menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang lain.