Edisi 23, oleh Naelul Fauzi (Staf Seksi Pendidikan Madrasah Kemenag Purbalingga)
Di sebuah desa di pinggiran Kabupaten Purbalingga, berdiri sebuah madrasah sederhana. Atapnya masih ada yang bocor saat hujan deras, ruang kelasnya sempit, dan bangkunya sudah mulai berdecit ketika digeser. Sarana prasarana memang terbatas, jauh dari gambaran sekolah modern dengan fasilitas lengkap.
Namun, ada sesuatu yang membuat madrasah ini tetap hidup: kehangatan guru-gurunya dalam mendampingi anak-anak. Setiap pagi, para murid datang dengan wajah ceria. Mereka tahu, meski kelas mereka sederhana, ada guru yang selalu menyambut dengan senyum dan doa.
Inilah kekuatan Madrasah Berbasis Cinta—sebuah pendekatan pendidikan yang tidak bergantung pada megahnya gedung, tetapi pada ketulusan hati dalam membersamai tumbuh kembang anak-anak.
Di madrasah ini, guru tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga hadir dengan jiwa kepengasuhan. Mereka memahami bahwa setiap anak punya keunikan: ada yang cepat memahami pelajaran, ada yang lebih lambat, ada yang pendiam, ada yang penuh imajinasi. Guru bersabar, membimbing dengan lembut, dan tidak pernah menjadikan nilai rapor sebagai satu-satunya ukuran keberhasilan.

Tugas-tugas yang diberikan pun tidak bertumpuk. Seorang guru memilih memberikan sedikit soal, tetapi bermakna. Misalnya, anak diminta menghitung kebutuhan bahan untuk acara kecil di rumah, menulis cerita tentang pengalaman membantu orang tua, atau membuat gambar tentang menjaga lingkungan. Dengan begitu, anak belajar berpikir kritis sekaligus mengasah rasa peduli.
Madrasah ini membuktikan, keterbatasan sarana tidak menghalangi kualitas pendidikan jika cinta menjadi dasarnya. Justru dengan kurikulum berbasis cinta, madrasah hadir sebagai ruang aman di mana anak-anak tidak sekadar dituntut berprestasi, tetapi didampingi dengan penuh kasih.
Di sebuah kelas sederhana, tampak anak-anak madrasah sedang asyik berdiskusi. Ada yang sibuk menulis ide di papan, ada yang berdebat kecil namun penuh semangat, dan ada pula yang mengangkat tangan dengan percaya diri untuk berbicara. Gurunya hanya tersenyum, mendampingi tanpa banyak intervensi.
“Pak Guru, kalau kita kerja sama begini rasanya belajar jadi lebih mudah ya?” tanya seorang murid sambil tersenyum bangga melihat kelompoknya bisa menyelesaikan tugas.
“Iya betul sekali. Belajar itu bukan soal siapa yang paling cepat dapat nilai tinggi, tapi bagaimana kita bisa saling membantu dan tumbuh bersama,” jawab sang guru lembut.
Anak-anak pun mengangguk, seolah memahami pesan sederhana itu. Inilah wajah pendidikan berbasis cinta yang dijalankan secara sungguh-sungguh.
Madrasah bukan sekadar tempat mengejar angka di rapor, tetapi menjadi ruang hidup yang menumbuhkan kecerdasan hati. Dari sinilah lahir anak-anak yang bukan hanya pintar secara akademik, tetapi juga santun dalam perilaku, peduli kepada sesama, serta siap menghadapi lika-liku kehidupan dengan jiwa yang kuat.
Madrasah menjadi rumah kedua yang mempersiapkan generasi berprestasi sekaligus berempati, generasi yang mampu membawa kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya. Madrasah Berbasis Cinta adalah rumah kedua bagi anak-anak. Rumah yang meski sederhana, mampu melahirkan generasi yang penuh kasih dan siap membawa cahaya bagi masa depan.