Edisi 47, oleh Sri Lestari (Pranata Humas Kankemenag Purbalingga)
Pernah membayangkan jadi koki di kerajaan? Bukan sembarang masak, tapi masak untuk raja, pangeran, putri, dan seluruh rakyat yang selalu lapar — bukan lapar nasi, tapi lapar informasi. Nah, begitulah kira-kira nasib seorang Humas Pemerintah.
Ia bukan cuma juru bicara, tapi juga juru racik kabar.
Dari Dapur ke Panggung
Kalau koki punya dapur, humas punya press room (atau minimal grup WA). Di situlah mereka meracik bahan-bahan mentah: data, kegiatan, kebijakan, dan hasil wawancara dengan pejabat, narasumber, penyelenggara kegiatan. Semua diolah jadi sajian informasi yang lezat, bergizi, dan tentu — tidak gosong. Dan, itu butuh proses—-waktu untuk koordinasi—eksekusi via aplikasi—belum lagi dengan bumbu kendala teknis—yang menambah panjang proses meracik.
Bedanya, koki bisa mencicipi dulu masakannya sebelum disajikan. Humas? Kadang belum sempat proofread, berita sudah harus tayang. Jadi kalau ada bumbu kurang garam alias typo sedikit, ya maklum… namanya juga dapur sibuk 😅.
Resep Rahasia: Rasa dan Relevansi
Koki kerajaan tak boleh asal tumis. Masakannya harus sesuai selera raja, tapi juga disukai rakyat. Begitu pula humas pemerintah: tulisannya harus sesuai pesan pimpinan, tapi enak dibaca masyarakat.
Seni terbesarnya adalah menyeimbangkan rasa:
- Jangan terlalu asin (berlebihan memuji),
- Jangan hambar (sekadar formalitas),
- Jangan pedas berlebihan (bisa bikin salah paham).
Resep paling ampuh: kombinasi empati, logika, dan sedikit humor secukupnya.
Menu Harian Humas adalah Informasi Publik
Setiap hari, humas menyajikan menu berbeda: hari ini berita apel, besok liputan kunjungan, lusa mungkin konten ucapan hari besar. Kalau lagi kreatif, bisa muncul “menu spesial”: video reels, podcast, atau infografis berwarna pastel.
Semua demi satu tujuan: agar publik tetap doyan mengikuti cerita pemerintahnya.
Tantangan Humas adalah Kritik Rasa
Koki sejati tahu, setiap sajian bisa dikomentari. Ada yang bilang kurang gurih, ada juga yang protes porsinya kecil. Humas pun demikian — tak semua publik suka dengan semua konten. Tapi justru dari kritik itulah dapur humas semakin matang. Humas yang baik bukan yang takut dikritik, tapi yang mau belajar dari lidah publik.
Jangan Lupa Cicipi Sendiri !
Seorang koki selalu mencicipi masakannya sebelum dihidangkan. Humas juga sebaiknya “mencicipi” dulu hasil tulisannya. Apakah bahasanya manusiawi? Apakah pesannya sampai? Apakah publik bisa merasakan niat baik di balik setiap kalimat?
Kalau jawabannya “iya”, berarti sajian humas itu bukan cuma layak tayang — tapi layak dikenang.
“Humas pemerintah bukan sekadar penyampai pesan, tapi koki informasi yang meracik rasa, menjaga reputasi, dan memastikan kepercayaan publik tetap hangat di meja pelayanan.”
Salam Humas Pemerintah !!