Kementerian Agama Kabupaten Purbalingga

BELAJAR PINTAR TAK CUKUP: SAAT DUNIA PENDIDIKAN LUPA MENDIDIK HATI

Edisi 61, oleh Mabrur (Pengawas Sekolah PAI TK/SD/SLB Kantor Kementerian Agama Kabupaten Purbalingga)

Di tengah derasnya arus kemajuan teknologi dan perubahan zaman, dunia pendidikan seakan berlomba mencetak generasi yang cerdas secara intelektual. Kurikulum diperbarui, metode pembelajaran diperluas, dan berbagai platform digital dikembangkan untuk memastikan siswa tidak tertinggal dalam kompetisi global. Namun, di balik gemerlap semangat belajar dan pencapaian akademik, muncul pertanyaan besar: apakah pendidikan kita masih peduli pada pembentukan hati dan karakter manusia?

Kecerdasan yang Tak Menjamin Kemanusiaan

Anak-anak kini tumbuh di era serba cepat. Mereka diajarkan cara berpikir kritis, berinovasi, dan menguasai teknologi sejak dini. Namun, di sisi lain, empati, kejujuran, dan tanggung jawab sosial mulai kabur dari fokus utama pendidikan. Fenomena seperti perundungan (bullying), intoleransi, penyalahgunaan media sosial, hingga kenakalan remaja menjadi bukti bahwa menjadi pintar belum tentu berarti menjadi manusia seutuhnya.

Pendidikan modern sering kali terjebak dalam paradigma bahwa keberhasilan diukur dari nilai, ranking, dan prestasi akademik. Padahal, dunia kerja dan kehidupan sosial justru menuntut lebih dari sekadar kecerdasan otak. Mereka yang berhasil bukan hanya yang cerdas secara kognitif, melainkan juga yang matang secara emosional dan memiliki integritas moral.

Sekolah dan Madrasah : Tempat Ilmu atau Tempat Tumbuh?

Sekolah dan madrasah seharusnya bukan hanya tempat menghafal rumus atau teori, tetapi ruang untuk tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter. Pendidikan sejati bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan proses pembentukan manusia berjiwa luhur. Sayangnya, banyak lembaga pendidikan yang masih terjebak pada budaya “hasil” ketimbang “proses.”

Guru pun sering kali dibebani target kurikulum dan administrasi yang berat, sehingga ruang untuk membimbing nilai-nilai kehidupan menjadi terbatas. Padahal, satu teladan sederhana-seperti guru yang sabar, jujur, dan peduli-dapat menanamkan pelajaran moral yang jauh lebih berharga daripada seribu teori di buku teks.

Saat Literasi Digital Menggeser Literasi Moral

Perkembangan teknologi membawa berkah sekaligus tantangan besar. Di satu sisi, akses belajar menjadi lebih mudah dan luas. Di sisi lain, dunia maya sering menjadi ruang tanpa kendali moral. Anak-anak bisa dengan mudah terpapar konten negatif, hoaks, ujaran kebencian, hingga budaya konsumtif yang mengikis nilai kesederhanaan.

Inilah saatnya pendidikan tidak hanya mengajarkan “bagaimana menggunakan teknologi”, tetapi juga “bagaimana bertanggung jawab terhadap dampaknya.” Literasi digital harus berjalan seiring dengan pendidikan karakter dan bimbingan etika berinternet. Tanpa pembekalan moral, teknologi justru bisa menjadi senjata yang melukai diri sendiri maupun orang lain.

Mendidik Hati di Tengah Dunia yang Sibuk

Mendidik hati tidak bisa dilakukan dengan hafalan atau ujian. Ia tumbuh melalui keteladanan, pembiasaan, dan lingkungan yang menumbuhkan rasa empati serta kepedulian. Di rumah, keluarga menjadi madrasah pertama yang menanamkan nilai kasih sayang, disiplin, dan tanggung jawab. Di sekolah, guru menjadi “orang tua kedua” yang membimbing dengan cinta dan keteladanan.

Pendidikan karakter bukan tambahan pelajaran, melainkan jiwa dari seluruh proses belajar. Setiap mata pelajaran, kegiatan ekstrakurikuler, hingga interaksi sehari-hari seharusnya menjadi ruang pembelajaran moral. Ketika seorang siswa belajar menghargai perbedaan, menolong teman, atau menjaga kebersihan kelas, di situlah pendidikan hati sedang bekerja.

Kembali ke Hakikat Pendidikan

Ki Hajar Dewantara pernah mengingatkan bahwa tujuan pendidikan adalah “menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya sebagai manusia dan anggota masyarakat.” Kalimat ini menegaskan bahwa pendidikan sejati tidak hanya mengasah otak, tetapi juga menumbuhkan budi pekerti.

Kini, dunia pendidikan kita perlu berhenti sejenak dan merenung : apakah kita sedang mencetak manusia berkarakter, atau sekadar melahirkan generasi pintar yang kehilangan arah? Sudah saatnya kita menyeimbangkan kembali antara “belajar untuk tahu” dan “belajar untuk menjadi.”

Pada akhirnya, masa depan bangsa tidak hanya bergantung pada seberapa tinggi nilai rapor anak-anak kita, tetapi pada seberapa dalam nurani dan kejujuran mereka hidup dalam diri.

Post Relate

Translate »
Open chat
Hubungi Kami
Kemenag Purbalingga
Hallo 👋
Apakah ada yang bisa saya bantu?
Skip to content