Edisi 44, oleh M. Zainul Mushthofa, S.H.I. (CPNS Penghulu Ahli Pertama KUA Kaligondang Purbalingga)
Setiap kali dua insan bersanding di hadapan penghulu, mengucapkan ijab kabul dengan suara bergetar, ada rasa haru yang menyelimuti. Penghulu menjadi saksi lahirnya janji suci — janji untuk saling mencintai, saling menjaga, dan saling menuntun menuju ridha Allah.
Namun di balik kebahagiaan itu, ada kepedihan yang sulit disembunyikan. Ketika data perceraian meningkat dari waktu ke waktu, hati seorang penghulu ikut bergetar. Sebab ia tahu, di balik setiap perceraian, ada akad yang dahulu ia pandu dengan doa dan harapan. Dan saat itulah, penghulu pun menangis dalam diam.
Air mata itu bukan tanda kelemahan, melainkan simbol kepedulian dan cinta terhadap umat. Penghulu menangis bukan karena gagal menjalankan tugas, tetapi karena ia merasa ikut kehilangan — kehilangan sakralitas pernikahan, kehilangan makna cinta yang dijaga Allah.
Setiap kali mendengar kabar perceraian dari pasangan yang dulu ia nikahkan, penghulu mungkin terdiam sejenak — teringat wajah bahagia saat akad, teringat doa-doa yang dulu ia panjatkan agar rumah tangga itu menjadi sakinah, mawaddah, warahmah. Dan kini, semua itu tinggal cerita.
Mengapa Penghulu Harus Peduli?
Sebagian orang mungkin berkata, “Tugas penghulu hanya menikahkan, bukan menjaga rumah tangga.” Namun bagi seorang penghulu yang memahami amanahnya, kalimat itu terlalu sempit. Sebab penghulu adalah penjaga awal ikatan suci, dan penjaga tidak akan tenang ketika ikatan itu tercerai berai.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah perceraian.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah)
Hadis ini menjadi cambuk bagi kita semua — bahwa perceraian bukan sekadar keputusan hukum, melainkan tanda lemahnya kesabaran, komunikasi, dan keimanan. Dan penghulu, sebagai pelayan agama, memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi benteng pertama dalam mencegah perpecahan itu terjadi.
Saat Bimbingan Tidak Sekadar Formalitas
Bimbingan perkawinan (bimwin) bukan hanya rutinitas sebelum akad. Ia adalah ruang dakwah, tempat penghulu menanamkan nilai-nilai cinta, tanggung jawab, dan kesetiaan. Namun sering kali, kegiatan ini dijalankan sekadar memenuhi jadwal, tanpa ruh pembinaan yang mendalam.
Padahal, di sanalah letak perbedaan antara penghulu yang bekerja dengan hati dan penghulu yang bekerja dengan prosedur. Ketika nasihat keluar dari hati, maka ia akan menembus hati. Dan mungkin, hanya satu kalimat penghulu yang tulus bisa menyelamatkan satu rumah tangga dari perceraian.
Refleksi: Antara Amanah dan Pertanggungjawaban
Setiap akad yang disaksikan penghulu bukan hanya peristiwa hukum, tapi perjanjian dengan Allah. Penghulu berdiri di tengah dua dunia: dunia hukum dan dunia ibadah. Ia bukan hanya pejabat negara, tetapi juga pelayan agama.
Maka ketika perceraian semakin tinggi, penghulu patut merenung: Apakah kita sudah cukup memberi bekal sebelum akad? Apakah kita sudah mengingatkan tentang tanggung jawab suami istri di hadapan Allah? Apakah kita sudah hadir dengan doa, bukan sekadar tanda tangan?
Jika jawabannya belum, maka air mata penghulu bukan hanya tanda sedih — melainkan penyesalan yang harus diubah menjadi tekad.
Menjadikan Tangis Sebagai Doa
Tangisan seorang penghulu tidak boleh berhenti di kesedihan. Tangisan itu harus berubah menjadi doa dan gerak nyata. Doa agar Allah memberi kekuatan kepada para penghulu untuk tetap istiqamah membimbing umat. Gerak nyata agar setiap penghulu hadir dalam setiap tahap kehidupan umat — dari pra-nikah, masa pernikahan, hingga pembinaan setelah akad.
Dengan begitu, tangis penghulu bukan lagi air mata kelemahan, tetapi air mata kasih yang menghidupkan.
Penghulu menangis bukan karena lelah, tetapi karena cinta. Cinta kepada agama, cinta kepada umat, dan cinta kepada makna pernikahan yang suci. Setiap perceraian adalah luka, tetapi selama penghulu masih mau menangis dan merenung, harapan itu belum padam.
Semoga setiap penghulu diberi kekuatan untuk terus menuntun umat menuju keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Dan semoga air mata yang jatuh hari ini menjadi saksi di hadapan Allah, bahwa para penghulu tidak tinggal diam, tetapi terus berjuang menjaga kesucian pernikahan di negeri ini.