Purbalingga – Madrasah sebagai tempat pendidikan formal yang berciri khusus keagamaan diharapkan mampu mencetak peserta didik yang memiliki nilai berbeda (nilai lebih) dibandingkan lembaga pendidikan lainnya yang sederajat. Hal tersebut disampaikan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Purbalingga H. Muhammad Syafi’ dalam kegiatan Pembinaan Fikih Bagi Guru Madrasah yang digelar Selasa (7/3/2023) di Aula Uswatun Khasanah Purbalingga.
Kegiatan yang diselenggarakan dalam rangka peningkatan kompetensi para guru Mapel Fikih madrasah tersebut digelar sehari dan dihadiri para guru Mapel Fikih MI/MTs/MA yang ada di kabupaten Purbalingga.
Kakankemenag Muhammad Syafi’ dalam pembinaannya berpesan, sebagai salah satu upaya peningkatan ghirah keislaman sekaligus praktik fiqih bagi peserta didik madrasah dapat mengikutsertakan sebagian peserta didiknya dalam kegiatan takziyah di lingkungan sekitar madrasah. Menurutnya, hal tersebut juga menjadi salah satu bentuk komunikasi sosial madrasah dengan masyarakat.
Menurutnya, selain menunjukkan rasa keprihatinan dan turut berbela sungkawa sebagai wujud kepekaan sosial, para peserta didik yang telah diajari fiqih salat jenazah di kelasnya dapat mengaplikasikan ilmu fikih salat jenazah yang telah dipelajarinya.
“Anak-anak dengan bimbingan atau panduan guru dapat turut menyolati dan mendoakan jenazah saudara muslimnya yang sedang dikunjungi, ” jelasnya.
Selain terkait fikih jenazah, Muhammad Syafi’ juga menyampaikan materi fikih salat. Ia menggambarkan salah satu keindahan kebijaksanaan para ulama di masa lalu yang meski memiliki perbedaan pemahaman, namun mereka dapat saling menghormati dan menghargai pendapat dan amaliah ulama lainnya.
“Sebagai contoh Imam Asy-Syafi’i saat mengunjungi masjid Imam Hanafi (saat itu Imam Hanafi sudah wafat) dan diminta memimpin salat subuh berjamaah, ia tidak melakukan qunut. Meskipun dalam kesehariannya Imam Syafi’i mempraktikkan amaliyah qunut, ” terangnya.
Muhammad Syafi’ menambahkan, contoh lainnya adalah Buya Hamka sang tokoh utama Ormas Muhammadiyah pada masanya. Saat Buya Hamka mengunjungi salah satu pondok pesantren dan diminta menjadi imam salat subuh di pesantren tersebut ia melaksanakan amaliah qunut subuh.
Menurutnya, hal tersebut menggambarkan tingginya kebijaksanaan para ulama di masa lalu. Sehingga ia berpandangan, pada masa sekarang sudah bukan waktunya lagi umat Islam khususnya para guru agama mempertentangkan hal-hal khilafiyah yang bersifat furu’ yang hanya akan menimbulkan keresahan umat.* ( sar)