Refleksi Isro' Mi'roj, Cegah Kemungkaran Dengan Sholat

 

Bulan Rajab merupakan salah satu dari empat bulan yang Allah muliakan (arba’atun hurum) sebagaimana Allah firmankan dalam surat At-Taubah [9] ayat 36,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَات وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram..” (Q.S. At Taubah/9: 36)

 

Penjelasan arba’atu-hurum (empat bulan yang dimuliakan) dalam ayat tersebut terdapat dalam hadist dari Abu Bakrah rahimahullah dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda :

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

Zaman telah berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram, dan Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

 

Salah satu keutamaan yang ada di bulan Rajab adalah adanya peristiwa monumental yang dialami baginda Rasulullah Muhammad SAW yakni peristiwa isro mi’roj yang terjadi di saat Rasulullah SAW sedang dalam kondisi bersedih pasca ditinggal wafat oleh istri tercinta Khadijah dan pamannya Abu Thalib sehingga dikenal dengan ‘Amul Huzn (tahun penuh kesedihan). Saat inilah Allah SWT ‘mewisatakan’ beliau melalui peristiwa Isra Mi’raj yang terjadi pada periode akhir masa kenabian di Makkah atau sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Menurut al-Maududi dan mayoritas ulama, peristiwa Isra Mi’raj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620 – 621 M. Menurut al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mi’raj terjadi pada malam tanggal 27 Rajab tahun ke-10 kenabian, dan inilah pendapat yang populer.

 

Peristiwa isro’ mi’roj bagi umat Islam merupakan peristiwa bersejarah karena melalui peristiwa isro’ mi’roj inilah Allah SWT menyampaikan SUPEWALAT (SUrat PERintah WAjib shoLAT) secara langsung tanpa perantaraan malaikat jibril sebagaimana perintah ibadah yang lainnya. Mengingat sholat merupakan manifestasi hubungan antara sang Kholiq Allah SWT dengan hamba-Nya yang beriman (hablumminalloh), maka di momentum peringatan isro’ mi’roj ini,  menjadi sebuah keniscayaan bagi kita untuk bertafakkur, merenung dan mengingat kembali tentang amalan sholat yang telah dijalani bertahun-tahun.

 

Sholat Sebagai Tiang Agama

Ibadah shalat yang menjadi rukun Islam kedua merupakan media ketundukan dan kepasrahan total dalam Islam, sehingga shalat dalam Islam difungsikan sebagai tiang agama sebagaimana sabda Rasulullah SAW,

الصَّلاةُ عِمادُ الدِّينِ ، مَنْ أقَامَها فَقدْ أقَامَ الدِّينَ ، وَمنْ هَدمَها فَقَد هَدَمَ الدِّينَ

“Shalat itu tiang agama. Barangsiapa yang mendirikan shalat maka ia menegakkan agama. Sebaliknya barangsiapa yang meninggalkannya ia telah merobohkan agama” (HR. Baihaqi). 

Mengapa sholat berfungsi menjadi tiang agama ?  Karena dalam sholat terdapat pelaksanaan empat rukun Islam yang lainnya yaitu: 

1. Dalam shalat ada syahadat sebagai persaksian atas keesaan Allah SWT dan kerasulan Muhammad SAW;

2. Dalam sholat ada ajaran zakat, karena ketika shalat diakhiri dengan ucapan salam sambil menengok ke kanan dan ke kiri, ini memiliki makna kepedulian sosial yang merupakan manifestasi dari syariat zakat; 

3. Dalam shalat ada nilai shaum (puasa), karena selama berlangsung aktifitas sholat tidak diperbolehkan makan, minum dan berkata-kata selain bacaan shalat; 

4. Dalam shalat juga ada pelaksanaan haji, karena salah satu yang menjadi syarat sahnya sholat adalah menghadap kiblat baitullah. 

 

Dua Golongan Pelaku Sholat

Dalam al-QuranAllah SWT menjelaskan adanya dua kualifikasi orang-orang yang melakukan shalat, yaitu :

(1). Khosyi’uun adalah orang-orang yang shalatnya khusyu’. Berdasarkan pada beberapa ayat al-Qur’an diantaranya dalam surat al-Baqoroh ayat 45-46, surat al-Mukminun ayat 1-11, surat al-ankabut ayat 45, dapat diambil benang merah terkait dengan indikasi khosyi’uun, yaitu  niatnya ikhlas hanya berharap ridho-Nya, tata cara sholat yang dijalaninya benar sesuai tuntunan, sikap hidupnya tegas, suka bekerja keras, benteng pertahanan dan penangkal makshiyatnya handal, memiliki pengaruh bagi pencegahan perbuatan keji dan munkar, serta dapat menempa pribadinya menjadi pribadi yang memiliki sikap disiplin, jujur dan nilai-nilai positif  lain yang ada dalam sholat sehingga pelaku sholat golongan khosyi’uun ini memiliki kesalehan individual dan kesalehan sosial.

Allah berfirman dalam al Quran surat al Ankabut: 45:

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad), yaitu Al Kitab (al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

 

Ayat ini memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan tentunya kita sebagai umatnya, agar senantiasa berinteraksi dengan al Quran, dengan cara membaca, mempelajari, memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungannya. Allah SWT juga memerintahkan untuk mendirikan shalat secara berkesinambungan dan khusyu’.  

 

Shalat yang didirikan secara berkesinambungan dan khusyu’, sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya, dapat dipastikan (sesuai janji Allah) akan mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar, karena kemampuannya dalam menerjemahkan nilai-nilai shalatnya. Seorang yang memahami bahwa substansi shalat itu adalah mengingat Allah, maka hatinya akan tenang, jiwanya bersih dan dirinya akan terpelihara dari melakukan perbuatan keji dan munkar.

 

(2). Saahuun adalah orang-orang yang lalai dalam shalatnya, senang memamerkan kebaikan (riya’), mengharapkan pujian dan sanjungan saat melakukan kebaikan, tidak memiliki kepedulian, sikap hidupnya pemalas, lebih suka menerima pemberian dari pada memberi, egois dan tinggi hati. Inilah indikasi dari saahuun. Bagi golongan ini yang penting mengerjakan sholat sebatas menggugurkan kewajiban, tidak peduli jika keikhlasan shalatnya terkotori oleh sikap riya’ dan haus pujian dalam hatinya. Intinya sholat yang dilakukannya itu tidak berimplikasi positif pada diri dan kehidupannya. Kewajiban sholat dijalankan, tapi maksiatnya pun tetap dilakukan (STMJ = Sholat Terus dilakukan, tapi Maksiat Jalan terus). Allah berfirman dalam surat al Ma’un: 4-7,

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاۤءُوْنَۙ وَيَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ

“Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan dengan barang yang berguna.

 

Pada kenyataannya, banyak orang yang melakukan shalat, tapi tidak berhenti melakukan perbuatan keji dan masih melakukan perbuatan munkar. Buruknya akhlak dan perilaku yang tumbuh dalam diri seseorang yang menjalankan sholat, tiada lain karena shalat yang dilakukannya itu asal-asalan, lalai, tidak khusyu’, sehingga tidak berpengaruh positif dan berperan aktif dalam penanggulangan kejahatan, sifat-sifat keburukan, kenistaan dan kemungkaran. Terlebih bagi orang yang lalai dan menjauh dari (meninggalkan) kewajiban sholat, tentu akan semakin terbuka peluang untuk berbuat maksyiat, keji dan munkar.

 

Sebaliknya kenyataan membuktikan, bahwa orang-orang yang menegakkan shalat dengan benar dan khusyu’ menjadi orang yang paling minim melakukan perbuatan maksiyat. Bahkan dapat dipastikan menjadi orang yang akan Allah hindarkan dari melakukan perbuatan keji dan munkar.  Bagi golongan ini Allah pun memberikan balasan berupa kebahagiaan hidup, dunia dan akhirat, sebagaimana  firman allah SWT dalam surat al Mu’minun, ayat 1 – 2:

قَدْ أَفْلَحَ ٱلْمُؤْمِنُونَ – ٱلَّذِينَ هُمْ فِى صَلَاتِهِمْ خَٰشِعُونَ

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya”.

 

Allah pun memberikan balasandengan dijadikannya sebagai pewaris surga Firdaus:

وَٱلَّذِينَ هُمْ عَلَىٰ صَلَوَٰتِهِمْ يُحَافِظُونَ – أُولَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْوَٰرِثُونَ – ٱلَّذِينَ يَرِثُونَ ٱلْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ

“Dan orang-orang yang memelihara shalatnya, mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) mereka yang akan mewarisi syurga Firdaus. Mereka akan kekal di dalamnya”. (QS. Al Mu’minun: 9 – 11)

 

Allah pun akan dapat melebur dan menghapus dosa-dosanya, bagaikan orang yang selalu mencuci badannya setiap hari, secara berulang-ulang, sebagaimana sabda Rasulullah SAW,

أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ ، يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا ، مَا تَقُولُ ذَلِكَ يُبْقِى مِنْ دَرَنِهِ » . قَالُوا لاَ يُبْقِى مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا . قَالَ « فَذَلِكَ مِثْلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ ، يَمْحُو اللَّهُ بِهَا الْخَطَايَا

“Tidaklah kalian perhatikan, seandainya ada sungai di depan pintu rumahmu, dan dia mandi setiap hari lima kali, apakah masih ada kotoran yang tersisa?” Mereka menjawab, “Tidak ada kotoran yang tersisa sedikit pun,” Rasulullah SAW bersabda, “Begitulah perumpamaan shalat lima waktu, di mana Allah menghapus kesalahan-kesalahannya”. (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah).

 

Demikianlah sekelumit uraian tentang sholat sebagai pencegah dari perbuatan keji dan munkar sebagai refleksi dari peringatan isro’ mi’roj, Mudah-mudahan bermanfaat dan menjadi pemicu bagi kita untuk meningkatkan kualitas shalat kita. Dengan shalat yang khusyu’, in syaa Allah berbagai bentuk perbuatan maksiyat, keji dan mungkar akan dihindarkan oleh Allah dari diri, keluarga dan masyarakat kita. Aamiin ya Robbal-‘Alamiin.. (Bimas Islam-yoen)

 

Translate ยป