Kementerian Agama Kabupaten Purbalingga

KEMENTERIAN AGAMA KABUPATEN PURBALINGGA

Profil

Sambutan Kepala Kantor

H. Muhammad Syafi’, S.Ag.
(Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Purbalingga)

Kantor Kementerian Agama Kabupaten Purbalingga bertekad untuk merubah mindset masyarakat sekaligus culture set ASN kemenag khususnya yang terkait dengan pelayanan kepada masyarakat, maka awal Januari 2021 dipastikan pelayanan apapun di Kankemenag Kabupaten Purbalingga akan menjadi lebih nyaman, lebih mudah dan lebih cepat, tidak lagi dalam hitungan hari ataupun jam akan tetapi bisa dalam hitungan menit. Standar pelayanan yang demikian sengaja kami sajikan untuk menjawab ekspektasi kebutuhan warga Kabupaten Purbalingga yang kebanyakan dari kalangan terdidik dan memiliki aktifitas serta mobilitas yang tinggi, yang membutuhkan pelayanan yang cepat, tepat, efisien waktu, pada sisi lain adanya kenyataan tingginya harapan hidup warga Kabupaten Purbalingga, tentu ini mengharuskan adanya treadment khusus dalam melayani kebutuhan mereka.

PTSP Kankemenag Kabupaten Purbalingga ingin memberikan tambahan inovasi pelayanan dari PTSP-PTSP yang telah ada. Diantaranya adalah penggabungan pelayanan pendaftaran haji regular kedalam PTSP. Jika sebelumnya untuk mendapatkan nomor porsi haji, calon jama’ah haji harus melakukan di BPS-BPIH dan seksi PHU. Kankemenag Kabupaten Purbalingga berkomitmen untuk memperpendek dan mempermudah prosedur di atas, sehingga untuk mendapatkan nomor porsi haji hanya cukup datang sekali di PTSP Kankemenag Kabupaten Purbalingga, karena proses membuka rekening tabungan haji dan sekaligus membayar BPIH dapat dilakukan sekaligus di PTSP, hal ini dapat terlaksana karena petugas BPS-BPIH boyong ke PTSP serta pihak BPS menerapkan prinsip Cash Less dan optimalisasi penggunaan IT. Dan segera setelah selesai urusan dengan BPS, calon jamaah haji langsung dilayani di siskohat, sampai mendapatkan nomor porsi berangkat haji.

Pada kesempatan ini kami menyampaikan apresiasi dan ucapan terima kasih kepada segenap tim pembangunan PTSP dan seluruh pihak yang terlibat lagsung atau tidak langsung sehingga PTSP hari ini dapat di launcing oleh Bapak Kawil Kemenag Jawa Tengah, harapan kami motto pelayanan SEHATI ( Santun, Efektif dan Efisien, Humanis, Amanah, Tertib, Ikhlas) selalu menjadi inspirasi sekaligus semangat bagi semua pihak yang terlibat dalam PTSP.

Selanjutnya kami tetap memohon saran dan masukan dari semua pihak demi sempurnanya pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya Reformasi Birokrasi melalui E–Govermment di PTSP Kankemenag Kabupaten Purbalingga.

Visi dan Misi Kementrian Agama

Visi

“Terwujudnya Masyarakat Indonesia yang Taat Beragama, Rukun, Cerdas, dan Sejahtera Lahir Batin dalam rangka Mewujudkan Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong” (Keputusan Menteri Agama Nomor 39 Tahun 2015)

Misi

  1. Meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran agama
  2. Memantapkan kerukunan intra dan antar umat beragama
  3. Menyediakan pelayanan kehidupan beragama yang merata dan berkualitas
  4. Meningkatkan pemanfaata dan kualitas pengelolaan potensi ekonomi keagamaan
  5. Mewujudkan penyelenggaraan ibadah haji dan umrah yang berkualitas dan akuntabel
  6. Meningkatkan akses dan kualitas pendidikan umum berciri agama, pendidikan agama pada satuan pendidikan umum, dan pendidikan keagamaan
  7. Mewujudkan tatakelola pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan terpercaya

(Keputusan Menteri Agama Nomor 39 Tahun 2015)

Sejarah

Sejarah Pembentukan Kementerian Agama

Usulan pembentukan Kementerian Agama pertama kali disampaikan oleh Mr. Muhammad Yamin dalam Rapat Besar (Sidang) Badan Penyelidik Usaha – Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), tanggal 11 Juli 1945. Dalam rapat tersebut Mr. Muhammad Yamin mengusulkan perlu diadakannya kementerian yang istimewa, yaitu yang berhubungan dengan agama.

Menurut Yamin, “Tidak cukuplah jaminan kepada agama Islam dengan Mahkamah Tinggi saja, melainkan harus kita wujudkan menurut kepentingan agama Islam sendiri. Pendek kata menurut kehendak rakyat, bahwa urusan agama Islam yang berhubungan dengan pendirian Islam, wakaf dan masjid dan penyiaran harus diurus oleh kementerian yang istimewa, yaitu yang kita namai Kementerian Agama”.

Namun demikian, realitas politik menjelang dan masa awal kemerdekaan menunjukkan bahwa pembentukan Kementerian Agama memerlukan perjuangan tersendiri. Pada waktu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melangsungkan sidang hari Ahad, 19 Agustus 1945 untuk membicarakan pembentukan kementerian/departemen, usulan tentang Kementerian Agama tidak disepakati oleh anggota PPKI. Salah satu anggota PPKI yang menolak pembentukan Kementerian Agama ialah Mr. Johannes Latuharhary.

Keputusan untuk tidak membentuk Kementerian Agama dalam kabinet Indonesia yang pertama, menurut B.J. Boland, telah meningkatkan kekecewaan orang-orang Islam yang sebelumnya telah dikecewakan oleh keputusan yang berkenaan dengan dasar negara, yaitu Pancasila, dan bukannya Islam atau Piagam Jakarta.
Diungkapkan oleh K.H.A. Wahid Hasjim sebagaimana dimuat dalam buku Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (Kementerian Agama, 1957: 856), “Pada waktu itu orang berpegang pada teori bahwa agama harus dipisahkan dari negara. Pikiran orang pada waktu itu, di dalam susunan pemerintahan tidak usah diadakan kementerian tersendiri yang mengurusi soal-soal agama. Begitu di dalam teorinya. Tetapi di dalam prakteknya berlainan.”

Lebih lanjut Wahid Hasjim menulis, “Setelah berjalan dari Agustus hingga November tahun itu juga, terasa sekali bahwa soal-soal agama yang di dalam prakteknya bercampur dengan soal-soal lain di dalam beberapa tangan (departemen) tidak dapat dibiarkan begitu saja. Dan terasa perlu sekali berpusatnya soal-soal keagamaan itu di dalam satu tangan (departemen) agar soal-soal demikian itu dapat dipisahkan (dibedakan) dari soal-soal lainnya. Oleh karena itu, maka pada pembentukan Kabinet Parlementer yang pertama, diadakan Kementerian Agama. Model Kementerian Agama ini pada hakikatnya adalah jalan tengah antara teori memisahkan agama dari negara dan teori persatuan agama dan negara.”

Usulan pembentukan Kementerian Agama kembali muncul pada sidang Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang diselenggarakan pada tanggal 25-27 November 1945. Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) merupakan Parlemen Indonesia periode 1945-1950, sidang pleno dihadiri 224 orang anggota, di antaranya 50 orang dari luar Jawa (utusan Komite Nasional Daerah). Sidang dipimpin oleh Ketua KNIP Sutan Sjahrir dengan agenda membicarakan laporan Badan Pekerja (BP) KNIP, pemilihan keanggotaan/Ketua/Wakil Ketua BP KNIP yang baru dan tentang jalannya pemerintahan.

Dalam sidang pleno KNIP tersebut usulan pembentukan Kementerian Agama disampaikan oleh utusan Komite Nasional Indonesia Daerah Keresidenan Banyumas yaitu K.H. Abu Dardiri, K.H.M Saleh Suaidy, dan M. Sukoso Wirjosaputro. Mereka adalah anggota KNI dari partai politik Masyumi. Melalui juru bicara K.H.M. Saleh Suaidy, utusan KNI Banyumas mengusulkan, “Supaya dalam negeri Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah hendaknya urusan agama hanya disambilkan kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan saja, tetapi hendaklah Kementerian Agama yang khusus dan tersendiri”.

Usulan anggota KNI Banyumas mendapat dukungan dari anggota KNIP khususnya dari partai Masyumi, di antaranya Mohammad Natsir, Dr. Muwardi, Dr. Marzuki Mahdi, dan M. Kartosudarmo. Secara aklamasi sidang KNIP menerima dan menyetujui usulan pembentukan Kementerian Agama. Presiden Soekarno memberi isyarat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta akan hal itu. Bung Hatta langsung berdiri dan mengatakan, “Adanya Kementerian Agama tersendiri mendapat perhatian pemerintah.” Pada mulanya terjadi diskusi apakah kementerian itu dinamakan Kementerian Agama Islam ataukah Kementerian Agama. Tetapi akhirnya diputuskan nama Kementerian Agama.

Pembentukan Kementerian Agama dalam Kabinet Sjahrir II ditetapkan dengan Penetapan Pemerintah No 1/S.D. tanggal 3 Januari 1946 (29 Muharram 1365 H) yang berbunyi; Presiden Republik Indonesia, Mengingat: usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, memutuskan: Mengadakan Kementerian Agama.
Pembentukan Kementerian Agama pada waktu itu dipandang sebagai kompensasi atas sikap toleransi wakil-wakil pemimpin Islam, mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta yaitu “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Maksud dan tujuan membentuk Kementerian Agama, selain untuk memenuhi tuntutan sebagian besar rakyat beragama di tanah air, yang merasa urusan keagamaan di zaman penjajahan dahulu tidak mendapat layanan yang semestinya, juga agar soal-soal yang bertalian dengan urusan keagamaan diurus serta diselenggarakan oleh suatu instansi atau kementerian khusus, sehingga pertanggungan jawab, beleid, dan taktis berada di tangan seorang menteri.

Pembentukan Kementerian Agama, sebagaimana diungkapkan R. Moh. Kafrawi (mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Agama), “…. dihasilkan dari suatu kompromi antara teori sekuler dan Kristen tentang pemisahan gereja dengan negara, dan teori muslim tentang penyatuan antara keduanya. Jadi Kementerian Agama itu timbul dari formula Indonesia asli yang mengandung kompromi antara dua konsep yang berhadapan muka: sistem Islami dan sistem sekuler.”

Pengumuman berdirinya Kementerian Agama disiarkan oleh pemerintah melalui siaran Radio Republik Indonesia. Haji Mohammad Rasjidi diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri Agama RI Pertama. H.M. Rasjidi adalah seorang ulama berlatar belakang pendidikan Islam modern dan di kemudian hari dikenal sebagai pemimpin Islam terkemuka dan tokoh Muhammadiyah.

Rasjidi saat itu adalah menteri tanpa portfolio dalam Kabinet Sjahrir. Dalam jabatan selaku menteri negara (menggantikan K.H. A. Wahid Hasjim), Rasjidi sudah bertugas mengurus permasalahan yang berkaitan dengan kepentingan umat Islam.

Kementerian Agama mengambil alih tugas-tugas keagamaan yang semula berada pada beberapa kementerian, yaitu Kementerian Dalam Negeri yang berkenaan dengan masalah perkawinan, peradilan agama, kemasjidan dan urusan haji; Kementerian Kehakiman yang berkenaan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Islam Tinggi; dan Kementerian Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan yang berkenaan dengan masalah pengajaran agama di sekolah-sekolah.

Sehari setelah pembentukan Kementerian Agama, Menteri Agama H.M. Rasjidi dalam pidato yang disiarkan oleh RRI Yogyakarta menegaskan bahwa berdirinya Kementerian Agama adalah untuk memelihara dan menjamin kepentingan agama serta pemeluk-pemeluknya.

Kutipan transkripsi pidato Menteri Agama H.M. Rasjidi yang mempunyai nilai sejarah, tersebut diucapkan pada Jumat malam, 4 Januari 1946. Pidato pertama Menteri Agama tersebut dimuat oleh Harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta tanggal 5 Januari 1946.

Dalam Konferensi Jawatan Agama seluruh Jawa dan Madura di Surakarta tanggal 17-18 Maret 1946, H.M. Rasjidi menguraikan kembali sebab-sebab dan kepentingan Pemerintah Republik Indonesia mendirikan Kementerian Agama yakni untuk memenuhi kewajiban Pemerintah terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Bab XI pasal 29, yang menerangkan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (ayat 1 dan 2). Jadi, lapangan pekerjaan Kementerian Agama ialah mengurus segala hal yang bersangkut paut dengan agama dalam arti seluas-luasnya.

Perkembangan berikutnya

Tahun-tahun berikutnya merupakan masa konsolidasi dan pengembangan kementerian. Peralihan kekuasaan kepada Pemerintah RI menjadi momentum penting untuk memperkuat posisi kementerian. Pada tanggal 23 April 1946, Menteri Agama mengeluarkan Maklumat yang isinya :

Pertama, Shumuka yang dalam zaman Jepang termasuk dalam kekuasaan Residen menjadi Jawatan Agama Daerah, yang selanjutnya ditempatkan di bawah Kementerian Agama.

Kedua, hak untuk mengangkat penghulu Landraad (sekarang bernama Pengadilan Negeri), ketua dan anggota Raad Agama yang dahulu ada di tangan pemerintah kolonial Hindia Belanda, selanjutnya diserahkan kepada Kementerian Agama.

Ketiga, hak untuk mengangkat penghulu masjid, yang dahulu ada tangan Bupati, selanjutnya diserahkan kepada Kementerian Agama.

Melalui perjuangan yang gigih dan tanpa pamrih para pendahulu kita, sejarah Kementerian Agama menyatu dengan sejarah NKRI. Bahkan dalam masa revolusi fisik dan diplomasi mempertahankan kemerdekaan, Kantor Pusat Kementerian Agama turut hijrah ke Daerah Istimewa Yogyakarta. Kementerian Agama di masa H.M. Rasjidi dapat disebut “kementerian revolusi”, karena ketika awal dibentuk, Kementerian Agama sejak 12 Maret 1946 berkantor di ibukota revolusi, Yogyakarta.

Dalam Maklumat Kementerian Agama No 1 tanggal 14 Maret 1946 diumumkan alamat sementara kantor pusat Kementerian Agama adalah di Jalan Bintaran No 9 Yogyakarta. Kemudian bulan Mei 1946 alamat Kementerian Agama pindah ke Jalan Malioboro No 10 Yogyakarta. Kantor ini tersedia berkat jasa baik tokoh Muhammadiyah K.H. Abu Dardiri dan K.H. Muchtar. Dalam waktu tersebut tugas-tugas Menteri Agama secara fakultatif tetap memiliki akses dengan Jakarta.

Setelah berdirinya Kementerian Agama, urusan keagamaan dan peradilan agama bagi umat Islam yang telah berjalan sejak prakemerdekaan menjadi tanggung jawab Kementerian Agama.

Semula hal itu berlaku di Jawa dan Madura, tetapi setelah terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didorong oleh mosi integral Mohammad Natsir (periode berlakunya UUDS 1950) dan penyerahan urusan keagamaan dari bekas negara-negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) kepada Menteri Agama, maka secara de jure dan de facto, tugas dan wewenang dalam urusan agama bagi seluruh wilayah RI menjadi tanggung jawab Menteri Agama.

Dalam perkembangan selanjutnya, diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1949 dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1950 serta Peraturan Menteri Agama Nomor 5 Tahun 1951 antara lain menetapkan kewajiban dan lapangan tugas Kementerian Agama yaitu:

  1. Melaksanakan asas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan sebaik-baiknya;
  2. Menjaga  bahwa  tiap-tiap  penduduk  mempunyai  kemerdekaan  untuk  memeluk  agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya;
  3. Membimbing,  menyokong,  memelihara  dan  mengembangkan  aliran-aliran  agama  yang sehat;
  4. Menyelenggarakan, memimpin dan mengawasi pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri;
  5. Memimpin,  menyokong  serta  mengamat-amati  pendidikan  dan  pengajaran   di  madrasahmadrasah dan perguruan-perguruan agama lain-lain;
  6. Mengadakan pendidikan guru-guru dan hakim agama;
  7. Menyelenggarakan segala sesuatu yang bersangkut paut dengan pengajaran rohani kepada anggota-anggota  tentara,  asrama-asrama,  rumah-rumah  penjara  dan  tempat-tempat  lain yang dipandang perlu;
  8. Mengatur,  mengerjakan  dan  mengamat-amati  segala  hal  yang  bersangkutan  dengan pencatatan pernikahan, rujuk dan talak orang Islam;
  9. Memberikan bantuan materiil untuk perbaikan dan pemeliharaan tempat-tempat beribadat (masjid-masjid, gereja-gereja dll);
  10. Menyelenggarakan, mengurus dan mengawasi segala sesuatu yang bersangkut paut dengan Pengadilan Agama dan Mahkamah Islam Tinggi;
  11. Menyelidiki, menentukan, mendaftarkan dan mengawasi pemeliharaan wakaf-wakaf;
  12. Mempertinggi kecerdasan umum dalam hidup bermasyarakat dan hidup beragama.

Pada waktu memperingati 10 tahun berdirinya Kementerian Agama, tahun 1956, Menteri Agama K.H. Muchammad Iljas menegaskan kembali politik keagamaan dalam Negara Republik Indonesia. Ditegaskannya, bahwa fungsi Kementerian Agama adalah merupakan pendukung dan pelaksana utama asas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kondisi saat ini

Pada perkembangan selanjutnya, dalam rangka meningkatkan pelayanan publik, saat ini Kementerian Agama terdiri dari 11 unit eselon I yaitu : Sekretariat Jenderal, Inspektorat Jenderal, Badan Penelitian dan Pengembangan, dan Pendidikan dan Pelatihan, dan 7 Direktorat Jenderal yang membidangi Pendidikan Islam, Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Bimbingan Masyarakat Islam, Bimbingan Masyarakat Kristen, Bimbingan Masyarakat Katolik, Bimbingan Masyarakat Hindu, Bimbingan Masyarakat Buddha, dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Selain 11 unit kerja tersebut, Menteri Agama juga dibantu oleh 3 (tiga) staf ahli dan 2 (dua) pusat yaitu : Staf Ahli Bidang Hubungan Kelembagaan Keagamaan, Staf Ahli Bidang Manajemen Komunikasi dan Informasi, Staf Ahli Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia, Pusat Kerukunan Umat Beragama, Pusat Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu.

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) merupakan unit kerja baru dan baru efektif melaksanakan tugasnya pada tahun 2017. BPJPH dibentuk sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) yang disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 17 Oktober 2014 dan pada tanggal tersebut juga diundangkan oleh Menkumham Amir Syamsuddin. Dalam Undang-Undang JPH, disebutkan bahwa BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang JPH diundangkan.

BPJPH merupakan unit eselon I di bawah Menteri Agama yang dipimpin oleh Kepala Badan, hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama yang mengatur ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Keberadaan BPJPH juga tertuang dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama. PMA Nomor 42 Tahun 2016 mengatur mengenai tugas dan fungsi dari masing-masing struktur BPJPH mulai dari eselon IV sampai dengan eselon I. Keputusan Menteri Agama RI No. 270 tahun 2016 tentang Peta Proses Bisnis Kementerian Agama yang di dalamnya ada Subprocess Map Penjaminan Produk Halal juga merupakan peraturan pelaksanaaan UU JPH yang terkait dengan BPJPH.

Menurut UU JPH, dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal BPJPH berwenang antara lain: merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH, menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria JPH, menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal pada produk luar negeri; dan melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri.

Pembahasan draft RPP secara internal Kementerian Agama dilakukan semenjak tahun 2014 sampai dengan Juli 2016, sedangkan pembahasan panitia antar Kementerian dilakukan pada bulan Agustus s.d. Desember 2016 atau sebanyak 12 x pertemuan.

Selain menyusun RPP, Kementerian Agama juga membuat Peraturan Menteri Agama, yang materi muatannya meliputi: jenis-jenis produk halal, sanksi, penyelia halal, tata cara permohonan sertifikat halal, lembaga pemeriksa halal, peran serta masyarakat, jenis hewan yang diharamkan, kerja sama luar negeri, label halal, dan pengelolaan keuangan BPJPH.

Dalam melaksanakan wewenangnya, BPJPH bekerjasama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Penetapan kehalalan dikeluarkan MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk. Kedepannya apabila diperlukan, maka BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah. Ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan Presiden.

Saat ini, dalam rangka meningkatkan pelayanan publik, Kementerian Agama menyelenggarakan fungsi antara lain :

  1. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang bimbingan masyarakat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu, penyelenggaraan haji dan umrah, dan pendidikan agama dan keagamaan;
  2. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agama;
  3. pengelolaan barang milik/kekayaan Negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Agama;
  4. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agama;
  5. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Agama di daerah;
  6. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah;
  7. pelaksanaan pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan di bidang agama dan keagamaan;
  8. pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal; dan
  9. pelaksanaan dukungan substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agama.


Motto

SEHATI

SANTUN – EFEKTIF & EFISIEN – HUMANIS – AMANAH – TERTIB – IKHLAS

Meretas Layanan Publik Berorientasi

Kode Etik Pegawai

Kode Etik Pegawai Kementerian Agama

  1. Menjunjung tinggi Kesatuan dan Persatuan Bangsa
  2. Mengutamakan pengabdian dan Pelayanan Kepada Masyarakat
  3. Bekerja dengan jujur adil dan makmurl
  4. Melaksanakan tugas dengan disiplin, profesional dan inovatif
  5. Setiakawan dan bertanggungjawab atas kesejahteraan KORPS

Struktur Organisasi

Kepala

H. MUHAMMAD SYAFI’, S.Ag. / NIP. 196606202005011002

Kasubbag Tata Usaha

H. SARIF HIDAYAT,S.Ag.,M.S.I. / 197404102009011006

Kasi Pendidikan Madrasah

H. SUDIONO, S.Pd.I, M.Pd.I. / NIP. 19760918199931005

Kasi Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren

Dra. Hj. KHAMIMAH / NIP. 196708171996032001

Kasi Pendidikan Agama Islam

WISNU SUDARMAN, SE/ NIP. 197907182006041012

Kasi Penyelenggaraan Haji dan Umroh

ANI MUFAROKHAKH, S.Ag / 197209062005012004

Kasi Bimbingan Masyarakat Islam

Drs. H. Nurdin Setitadi / 196704141992031004

Penyelenggara Zakat dan Wakaf

Moh. Nur Hidayat, S.Ag., M.Pd.I / 197508082007101007

Translate »
Open chat
Hubungi Kami
Kemenag Purbalingga
Hallo 👋
Apakah ada yang bisa saya bantu?
Skip to content