Purbalingga – Masih sebagai rangkaian peringatan Hari Amal Bakti (HAB) Kementrian Agama (Kemenag) Republik Indonesia ke-77, Kantor Kemenag Kabupaten Purbalingga menggelar tasyakuran di pendopo Dipokusumo, Selasa (10/1/202). Tasyakuran bertajuk toleransi tersebut menghadirkan budayawan Ahmad Tohari, penulis novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk sebagai penceramah.
Ahmad Tohari mengatakan sebagai dasar kehidupan umat Islam kalau sudah menyatakan dirinya muslim, sudah membaca dua kalimah Syahadat, dirinya harus bisa menghargai orang lain dengan keyakinannya masing-masing.
“Jangan jadi Tuhan pada dirinya sendiri,” katanya.
Ahmad Tohari menjelaskan, jika sudah menyatakan diri sebagai muslim harus memiliki toleransi, menghargi orang lain, agama apapun yang dianutnya. Jika sebagai muslim tidak memiliki toleransi, sama saja menjadi Tuhan pada dirinya sendiri.
Berikutnya, jika sudah menjalankan ibadah shalat, maka harus dibarengi dengan prilaku yang baik, akhlaq yang mulia.
“Jangan suka menggunjing, ghibah, mengurangi timbangan jika berdagang, mengurangi ukuran dan sebagainya,” jelasnya.
Terkait toleransi ,Ahmad Tohari juga berkisah, pernah dirinya diundang diskusi oleh komunitas non muslim, namun pada saat menjelang shalat ia ngaku ada panitia yang memberikannya sajadah untuk shalat
“Saat itu saya mau shalat, justru dari dari panitia menyediakan kami sajadah. Ini lho bentuk toleransi dari komunitas mereka, sangat menghargai hak saya untuk shalat,” terangnya.
Sebagai penulis sastrawan, budayawandi lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), ia selalu konsisten mengambil latar belakang kemiskinan, ketertindasan, dan keterpinggiran. Alasannya sangat sederhana, karena semua karya yang dituangkan ke dalam cerita itu dilandasi dari perenungan dan rasa yang setiap hari ditemui dalam hidupnya. Dalam kata lain Ahmad Tohari telah berhasil memilih suasana hati nurani yang paling dasar, yaitu kepedulian dan toleransi.
“Saya pernah diprotes oleh orang, kenapa saya sering mengangkat kehidupan orang-orang yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang yang nista, seperti pelacur contohnya. Sedang menurut dia saya berlatar belakang agama dengan baik. Jawaban saya sederhana, saya nulis apa yang saya lihat,” ujarnya.
Sebagaimana yang dikisahkan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, novel tersebut mengisahkan perjuangan seorang ronggeg (Lengger) di masa pergolakan komunis saat itu, menjadi ronggeng bukanlah hal yang mudah. Ronggeng harus suci, harus selalu menjadi sosok yang sendiri, tidak menikah. Dan itu dipegang kuat oleh Srintil yang bercita-cita menjadi ronggeng saat itu
“Hal utama dalam hidup itu keperdulian dan toleransi. Kita harus lebih mengedepankan kepedulian, terutama pada kehidupan yang ada di bawah kita, yaitu kaum yang terpinggirkan, terbelakang, miskin dan sakit. Ronggeng adalah hal yang sama, hal yang harus dihargai,” teranya.
Sri Lestari