Putusnya perkawinan yang dalam kitab fiqh disebut _thalak_diatur secara cermat dalam UU Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksanaan dari UU Perkawinan dan juga secara panjang lebar diatur dalam KHI. Pasal 38 UU Perkawinan menjelaskan bentuknputusnya perkawinan dengan rumusan:
Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian; b. Perceraian; dan c. Atas keputusan pengadilan Pasal ini ditegaskan lagi dengan bunyi yang sama dalam KHI Pasal 113 dan kemudian diuraikan dalam Pasal 114 dengan rumusan: Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talaq atau gugatan perceraian.
Pengertian talaq dalam Pasal 114 ini dijelaskan KHI dalam Pasal 117. Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dalam Pasal 129, 130, dan 131.
Fiqh membicarakan bentuk-bentuk putusnya perkawinan itu disamping sebab kematian adalah dengan nama thalaq, khulu”, dan fasakh . Thalaq dan khulu' termasuk dalam kelompok perceraian, sedangkan fasakh sama maksudnya dengan perceraian atas putusan pengadilan, karena pelaksanaan fasakh dalam fikih pada dasarnya dilaksanakan oleh hakim di pengadilan; di samping itu juga termasuk dalam perceraian berdasarkan gugatan perceraian yang disebutkan di atas. Dengan begitu baik UU atau KHI telah sejalan dengan fikih. Refrensi buku Hukum Perkawinan Islam di Indonesia
Anak Yang Lahir Sesudah Ibunya di Talaq
Pertanyaan : Apakah anak perempuan yang lahir sesudah ibunya di talaq itu termasuk mahramnya suami yang menalaknya ? Jawab : Ya. Benar termasuk mahramnya. Keterangan, dalam kitab Hasyiyah al-Iwadh 'ala al-Iqna, yang artinya ;
” Demikian pula anak perempuan dari seorang istri (ibu), jika anak tersebut sudah ada sebelum diri si lelaki mengawini ibunya, maka tidak sah menyerupakan ibunya dengannya (sebagai musyabbah bih- orang yang diserupai- dalam kasus zhihar), karena setatus mahram anak perempuan tersebut baginya baru terjadi setelah ia mengawini ibunya. Jika kehamilan terjadi sedudah menikahinya, seperti istri telah diceraikan kemudian nikah dengan diri lelaki tersebut, dan kemudian mengandung anak perempuan darinya, maka anak tersebut menjadi mahram terhitung sejak keberadaannya, sehingga sah menyerupakan istrinya dengan anak perempuan tersebut.” (Bimas – FauzanGinopai.bid.KS)